Label

Senin, 17 Juli 2017

Pengalaman Seru Shooting Film Dokumenter

Mungkin ada beberapa kawan yang bertanya-tanya, proses shooting sebuah film itu gimana ya? Nah, kebetulan beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk terlibat dalam proses pembuatan film, tapi film dokumenter. Yaaaaah, walaupun bukan sebuah proyek profesional tapi jelas ini adalah kesempatan belajar yang luar biasa. Saya bertugas sebagai seorang fixer yang membantu teman-teman dari Singapore Polytechnic. Mereka mendapat tugas proyek film dokumenter yang merupakan salahsatu mata kuliah dari jurusan Creative Writing fot TV and New Media (DTVM). Tahun ini lokasi shooting adalah area Lembang, Bandung. Kebetulan saya tinggal di Bandung dan dianggap bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, dan tentunya kemampuan saya berbahasa Sunda menjadi pertimbangan Politeknik Seni Yogyakarta tempat saya dulu kuliah untuk melibatkan saya dalam proyek ini. Terima kasih banyak untuk kedua perguruan tinggi. :D

Menangkap Matahari. :D
Dok pribadi

Next..
Kegiatan berlangsung dari tanggal 4-8 Juli 2017. Namun sebagai fixer, saya beserta 6 rekan lain sudah mulai survey lokasi dari tanggal 3. Kami terbagi menjadi 2 kelompok survey. 1 di Cibodas, 1 di Pasar Panorama. Kebetulan saya survey di area Pasar Panorama. Dan waaaaaaaaaaaaaah, sampai lokasi saya cuma melongo. Syok melihat kondisi pasar yang semrawut dengan gunungan sampah di pinggir jalan utama. Kondisi jongko yang tidak tertata dengan baik dilengkapi beceknya tanah/kayu yang menjadi lantai darurat semakin membuat saya terheran-heran. Aroma sayur mayur, daging dan sampah bersatu menjadi aroma yang tidak akan mudah dilupakan. Seumur-umur masuk ke pasar tradisional, rasanya ini pasar yang paling nempel di otak saya. Batin saya rasanya bingung, apa pantas saya ajak "touring" anak-anak Singapura itu kesini? Miris, tapi apadaya ini tugas saya.

Kelompok saya memiliki beberapa rincian yang perlu saya bantu cari data singkatnya agar memudahkan mereka ketika tiba di keesokan harinya. Beberapa tema awal yang dipilih adalah mengenai sampah. Otomatis saya hunting data sampah ini ke pedagang sekitar, dan tentunya mencari calon narasumber. Dan yah, memang tidak mudah hidup di negeri ini. Urusan sampah saja melipir ke arah duit dan politik. Singkat kata kami kesulitan untuk melanjutkan tema tersebut. Secara tidak sengaja kami bertemu dengan wartawan lepas yang sudah beberapa kali menulis artikel tentang Pasar Panorama ini, dan beliau menyarankan kami sebagai mahasiswa sebaiknya menghindari topik-topik yang aromanya aneh karena beliau bilang bisa berbahaya untuk keselamatan kami. Selain masalah sampah, ternyata topik bangunan dan kebakaran pun memiliki aroma yang tidak jauh baunya.
tampak depan Pasar Panorama. Dok pribadi

Ketika bingung harus cari bahan apalagi, saya teringat tentang sosok-sosok unik yang hidup di pasar. Seperti pedagang termuda atau tertua. Saya melanjutkan kembali menelusuri pasar, dan rasanya saya gembira bisa menemukan pedagang kecil yang sedang menjaga jongko sendirian. Namanya Anggara Dewanata. Cakep banget namanya. Saya berbincang, ternyata si adik sedang mengisi liburannya dengan berjualan kue di pasar. Tanya beberapa hal, lalu adik pemalu ini akhirnya menyetujui untuk dijadikan calon narasumber. Lega rasanya hati saya. Namun saya tidak boleh puas disini, saya mendengar desas-desus tentang pedagang jengkol berusia 110 tahun yang masih hebat, sehat dan kuat berjualan. Saya cari, puji syukur akhirnya ketemu walalupun harus nunggu, nyari kesana-kemari. Beliau bernama Abah Ukri. Bah Ukri ini sudah berjualan sebelum Pasar Panorama berdiri, beliau pindahan dari pasar lama. Beliau bercerita tentang banyak hal termasuk hal-hal bau yang terjadi di pasar ini. Hal-hal bau ini sudah menjadi rahasia umum ujarnya. Ah, sudahlah.. hal bau tidak akan saya ceritakan disini, yang penting Abah Ukri bersedia menjadi calon narasumber. Horeeeee..!

Hari selanjutnya hasil pencarian data saya bicarakan dengan Tim Singapura saya. Mereka terlihat antusias. Saya wanti-wanti jangan kaget dengan kondisi lapangan. Dan ya tetap saja mereka kaget. Hahaduhhhh..
bersama Abah Ukri. Penjual Petai 110 tahun.
Dok Zi Qi

Adik Dewa. Penjual kue termuda.
Dok Zi Qi

Tanggal 5 tim kami didampingi dengan seorang dosen mulai mengkaji ulang calon-calon narasumber dan kembali mencari kemungkinan-kemungkinan narasumber potensial lainnya. Mulai dari pengamen, pengemis, penjual ketan, sampai yang atur lalu lintas ikut diwawancara singkat. Malamnya tim inti (tanpa saya) mulai berkonsultasi dengan dosen mata kuliahnya tentang bahan apa saja yang sudah mereka dapat, dan cerita apa saja yang bisa dijadikan film dokumenter dara para calon narasumber ini. Akhirnya munculah keputusan untuk mewawancarai seorang penjual ketan bakar, karena dianggap memiliki cerita yang paling kuat diantara yang lainnya. Secepat kilat mereka membuat rumusan, timeline/jadwal kegiatan untuk esok hari. Apa saja yang harus segera direkam, materi wawancara, dll.
shooting di Jongko Ketan Bakar
Dok pribadi
Setup kamera di rumah Penjual Ketan Bakar.
Dok pribadi
Tanggal 6 & 7 kami melakukan shooting. Shooting kegiatan jual-beli di warung ketan bakar tersebut, mewawancarai jongko-jongko di sekitarnya. Kami juga shooting di rumah penjual ketan bakar tersebut, kegiatan sehari-hari di rumahnya mempersiapkan bahan dagangan, bercengkrama dengan keluarga, mewawancarai penjual tersebut beserta keluarga dan beberapa tetangganya. Tak lupa hunting view matahari terbenam yang menurut saya eksotis.

Pulang dari shooting yang padat dan melelahkan, malam harinya kami makan-makan di Kampung Daun dengan ceremony kecil merayakan selesainya kegiatan shooting kami di Lembang.

Tanggal 8 kami sarapan, kami bertukar kenang-kenangan. Ada hal lucu, anak-anak Singapura ini malah memberikan saya kue kancing produksi Indonesia. Saya membuatkan mereka gambar sederhana yang saya buat dadakan. Hahaha..
pemberian kenang-kenangan untuk tim Poipoi.
L-R Mr Aaron, Farah, Terisha, Zi Qi, saya, Amira, Kevin, Anna, Kirstin.
Gambaran saya pribadi btw. ;D
Dok pribadi

Secara general, kegiatan shooting itu melelahkan namun menyenangkan, seru!
Banyak hal lucu terjadi.
  • Kami disangka turis Hongkong yang masuk pasar.
  • Saya disangka orang Singapura yang jago bahasa Sunda.
  • Gosip di pasar itu kecepatannya melebihi kecapatan cahaya, tapi ya ngawur. Masa iya beredar rumor kami mau bawa penjual Ketan Bakarnya ke Singapura? Terus pedagang lain pada teriak-teriak minta diajak ke Singapura juga dan katanya mereka sirik. Ada-ada saja ya? Hihi..
  • Mendadak ada orang yang suka hilir-mudik di area shooting, kayanya kepo.
  • Ada juga yang malu-malu begitu sadar ada kamera.
  • Tak jarang ada yang heboh ngomong mau masuk tipi.
  • Yang tak kalah lucu ketika narasumber di shooting mendadak pakai baju-baju bagus, make up on. Oalah, kita kan shooting dokumenter Bu, bukan sinetron. :D Si Ibu jadi harus diingatkan, pakai baju sehari-hari saja tidak usah mendadak tampil gorjes. Hehe..


Selain hal lucu, kesulitan pun ya banyak.

  • Kami harus membawa berbagai peralatan rekaman ke medan yang tidak menentu, padahal kan berat-berat tuh.
  • Kondisi pasar yang ramai, dengan karakter orang-orang yang beragam membuat kita merekam harus penuh kesabaran.
  • Harus rajin-rajin kasih kode supaya orang-orang sekitar diam.
  • Kami sebagai kru harus pinter-pinter main petak-umpet. Gimana nggak, sekian banyak kru nggak ada yang boleh masuk kamera. :D
  • Membuat film dokumenter sangat berbeda dengan shooting sinetron dimana skrip sudah ada, aktor/aktris yang sudah terlatih, semua yang sudah terarah. Dalam pembuatan film dokumenter, apapun termasuk cerita bisa mendadak berubah setiap kali ada fakta lain terungkap. Kita juga tidak bisa merekayasa adegan, tidak ada teriakan "Shoot, action! Cut!". Semua momen bisa sangat tidak terprediksi, dan tim harus sigap dalam menangkap ragam momen yang terjadi ini. Misal tiba-tiba ada pembeli langganan yang datang membeli ketan dan bercengkrama dengan penjual ketan tersebut, tim harus sigap menangkap momen ini, terutama kameramen. Bisa jadi di saat semua lengah, si penjual ketan bakar tahu-tahu pergi membeli beras bahan ketan, kameramen harus siap ngejar. Tim harus pandai mengkondisikan narasumber agar tidak canggung menghadapi kamera, karena bisa saja narasumber mendadak gemetar, kebingungan, maupun mendadak terbata-bata bicara.


Yah, itulah pengalaman saya terlibat dalam pembuatan film dokumenter tugas kampus ini. Mudah-mudahan jadi manfaat untuk pembaca sekalian. Kalau yang punya pengalaman sejenis, boleh dong berbagi di kolom komentar.
dok. Singapore Polytechnic


+++Special thanks+++
Poiheads!
Politeknik Seni Yogyakarta
Singapore Polytechnic

Salam..

2 komentar: